Sebagai pengusaha dan
pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, aktivitas Natsir
Mansyur sangat padat setiap hari. Walaupun begitu, di waktu senggang dia
masih sempat menyalurkan hobinya bersepeda, yang dijalaninya sehabis
salat subuh.
Direktur Utama PT Indosmelt ini mengaku kerap bersepeda selepas salat subuh. Rute yang ditempuhnya sekitar 12 kilometer, dimulai dari kediamannya di Blok S, Jakarta Selatan, kemudian melewati Semanggi, TVRI di Senayan, Jalan Hanglekir-Trunojoyo, dan kembali lagi ke rumahnya.
"Di tahun 2009, dokter menyatakan saya kegemukan. Berat badan saya mencapai 85 kg, sehingga disarankan menurunkan berat badan. Kebetulan waktu itu lagi musim sepeda, ya saya sepedaan sekalian sampai sekarang," ujarnya di Jakarta, Rabu (23/4). Sepeda yang dimilikinya berjumlah empat unit yang merupakan hasil rakitan sesuai selera sendiri.
Dia lebih suka sepeda rakitan dibanding membeli sepeda utuh dari toko. "Ada kepuasan tersendiri," katanya.
Natsir pun harus membayar mahal untuk memuaskan hasratnya itu. Harga salah satu sepeda yang dimiliknya mencapai Rp 50 juta. Pasalnya, sepeda tersebut dibentuk dari onderdil berbagai merek. Hampir setiap item onderdilnya pun dibeli dengan merek yang berbeda. Misalnya shockbreaker memakai merek Fox dan lainnya.
Saking sayangnya dengan empat sepeda yang dimiliki, ayah tiga putra ini sampai meletakkannya di ruang makan. "Sepeda saya taruh di ruang meja makan. Jadi, kalau lagi makan bisa dipandangi," ujarnya.
Asisten rumah tangganya diberi berkewajiban untuk merawat sepeda meski tidak dipergunakan. Semua sepedanya pun harus dibersihkan setiap hari agar tidak ada debu yang melekat.
Karier dan Tips Berusaha
Natsir menuturkan, pintar bergaul dan berorganisasi merupakan kunci sukses dalam berusaha. Direktur Utama PT Indosmelt ini telah menggeluti beragam jenis pekerjaan, dari bekerja di perusahaan ekspor kayu milik ayahnya hingga perusahaan yang dipimpinnya saat ini tengah investasi pabrik pemurnian tambang mineral (smelter).
Ketika masih duduk di bangku SMP, Natsir sudah bekerja di perusahaan ekspor kayu milik ayahnya. Gajinya pun per hari lantaran dia bekerja paruh waktu. Pekerjaannya sederhana, hanya menghitung jumlah kayu yang diangkut ke kapal.
Namun di tahun 1980-an, Natsir memilih banting setir menjadi sopir taksi gelap. Hal ini dilakoninya karena usaha ekspor kayu dilarang oleh pemerintah. Taksi yang dioperasikannya merupakan kendaraan milik keluarga yang pernah disewakan kepada rekan bisnis ayahnya. Karena bisnis ekspor kayu dilarang, 10 sedan Corona di rumahnya tidak digunakan.
Dia menjadi sopir hanya paruh waktu, yakni sebelum dan sesudah sekolah. Di pagi hari, dia mengantar pelanggan ke bandara dan di malam hari mengantar pelanggan ke restoran. Tarif yang dikenakan Rp 10.000 per jam.
"Ada peluang di depan mata, kenapa tidak dimanfaatkan. Memulai bisnis itu dari hal yang sederhana," ucapnya.
Natsir menuturkan, profesinya sebagai sopir taksi masih digelutinya hingga menjadi mahasiswa Universitas Hasanuddin di Makasaar, Sulawesi Selatan. Kemudian, pria kelahiran Makassar 1 April 1963 ini mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pergaulan di organisasi tersebut membawanya kenal banyak orang. Luasnya pergaulan membuat dia dekat dengan sejumlah pejabat teras, di antaranya Hartono yang kala itu menjabat menteri perindustrian.
Sesi pertemuan antara Hartono dan Direksi PT Semen Tonasa pun dimanfaatkan oleh Natsir untuk mengajukan diri jadi distributor semen dan diterima. Usaha yang digelutinya itu pun kian moncer dan membawanya bergabung dengan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Lewat Hipmi, ketika masih berusia 27 tahun, dia berkesempatan bepergian ke beberapa negara untuk melihat sektor industri. Dari pengalamannya itu, Natsir mendirikan usaha kemasan berbahan plastik pada 1990-an, ketika kantong plastik kresek belum banyak seperti sekarang.
Seiring bertambahnya usia, dia bergabung dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan saat ini menjabat sebagai wakil ketua umum bidang bulog dan pemberdayaan daerah. Di organisasi tersebut, dia pun mengenal pengusaha dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga berasal dari daaerah asalnya, Makassar. "Saya banyak belajar dari beliau, dari cara korespodensi hingga cara bertutur," ujarnya.
"Praktisme", itu istilah yang menurut Natsir sesuai dengan ilmu yang diterimanya. Dia menjelaskan, dalam menulis surat tidak perlu berpanjang lebar. “Cukup menuangkan apa yang diinginkan. Tidak perlu menulis berlembar-lembar. Begitu pula dengan cara bertutur kata, sampaikan poin-poin penting, sehingga lawan bicara paham apa yang disampaikan,” katanya.
Natsir pun memberikan tips bagi kaum muda yang ingin berwirausaha. Dia menyebut era saat ini lebih baik daripada zamannya. Kecanggihan teknologi informasi bisa menjangkau segala lini baik di dalam dan luar negeri. Potensi pasar yang sedang berkembang di luar negeri bisa segera diketahui tanpa perlu pergi ke negara tersebut, cukup mengakses internet.
Namun, informasi saja tidak cukup dalam berwirausaha. Dia menekankan pentingnya pergaulan dan berorganisasi. Dari kedua hal itu, para wirausahawan bisa menimba ilmu dan mendewasakan diri, baik untuk diri sendiri maupun jenis usaha yang digelutinya.
Penulis: Rangga Prako
Sumber : beritasatu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar