Berhasilnya mahasiswa
Universitas Muslim Indonesia (UMI) memenangkan ajang lomba debat yang
ditayangkan salah satu media televisi swasta nasional Sabtu, 15/02/14
sontak membanjiri postingan ucapan selamat dan bangga oleh beberapa akun
di media sosial, bahkan sempat masuk dalam jajaran tranding topic
di Twitter. Layaknya orang yang sedang kehausan, kabar kemenangan itu
bagai pelipur dahaga yang disambut suka cita oleh kalangan mahasiswa,
yang bukan hanya berasal dari almamater UMI saja, melainkan juga
mahasiswa dari beberapa titik kampus se-Makassar.
Tak heran ini disambut begitu berbeda,
pasalnya bukan rahasia umum lagi bahwa citra mahasiswa Makassar selalu
diidentikkan dengan hal-hal yang buruk, seperti maraknya aksi
demonstrasi rusuh akibat bentrok, tawuran antar mahasiswa yang
mengakibatkan kematian, bahkan pada hal-hal yang dianggap tidak waras
oleh sebagian kalangan seperti merusak fasilitas umum. Maka tak ayal
dari kemenangan itu menjadi sebuah kebanggaan bersama yang disambut
bahagia oleh Mahasiswa Makassar yang dalam istilahnya bisatonji. Paling tidak kemenangan dari saudara Andri Mamonto, Andi Mangeppe Manggabarani dan Rizki Ramadani ini
sedikit memburamkan citra negatif mahasiswa Makassar yang dibangun oleh
seluruh masyarakat Indonesia dari apa yang mereka saksikan ataupun
simak di media selama ini.
Mengapa Citra Negatif?
Sebelumnya kita harus mengilas balik mengapa
mahasiswa Makassar mendapat pencitraan negatif, maka pertanyaan di atas
mungkin agak terkesan melucu atau klasik bagi sebagian orang. Tapi, ini
begitu subtantif jika ditelusuri lebih dalam, sebab munculnya citra
negatif yang melekat pada mahasiswa Makassar selama ini tentunya
memiliki penyebab. Beberapa pakar dalam diskusi ataupun seminar acap
kali menyebut bahwa karakter orang Bugis Makassar yang mengedepankan siri’ dalam tingkah laku sehari-harinya menjadi indikator penyebab citra negatif itu muncul.
Ada apa dengan siri orang Bugis Makassar? Hampir semua orang Sulawesi Selatan sepakat bahwa siri
itu adalah malu. Hanya saja, definisi malu memiliki beberapa tafsir
yang berkembang di tengah masyarakat, diantaranya malu karena
dihina/lecehkan, malu karena gagal dan malu karena tak berguna. Dalam
konteks inilah Mahasiswa Makassar biasanya terperangkap hingga akhirnya
dicitrakan negatif. Misalnya perilaku tawuran yang disebabkan karena
hanya persoalan sepele di sebuah teritorial (wilayah kekuasaan) yang
dilakukan kelompok tertentu hingga dianggap melecehkan/menghinanya,
terjadilah tawuran, atau ketika berdemonstrasi salah satu mahasiswa
diamankan oleh aparat karena dianggap provokator, bangkitlah rasa malu
jika tidak melakukan perlawanan untuk menyelamatkan teman seperjuangan
yang diseret aparat, dalam istilah mahasiswa Makassar, apajie atau gayanajie (dasar timbulnya solidaritas). Pecahlah bentrok.
Tidak juga salah, namun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab bukan siri
yang menjadi biang kerok citra negatif itu muncul, tetapi hadirnya
media di kehidupan keseharian kita. Dari konteks psikologis, posisi
media di sini memberikan stimulus melalui gambar visual dan audio yang
ditangkap oleh indera manusia, hingga memberikan suatu respon yang
diberi nama citra atau pencitraan. Apakah itu baik atau buruk tergantung
individu bagaimana stimulus yang diterimanya, sebab tak dipungkiri
sejak berakhirnya masa keemasan TVRI/RRI dan koran-koran independen
lainnya, hegemoni media telah (berhasil) meremoti sikap masyarakat untuk
mencitrakan sesuatu baik ataupun buruk pada konteks tertentu, termasuk
dalam konteks eksistensi mahasiswa (Makassar). Disayangkannya karena
media hari ini masih berkiblat pada prinsip bad news is good news,
sehingga hampir menjadi sebuah kenihilan nama mahasiswa Makassar
berkibar mengeksistensikan dirinya sebagai layaknya kaum intelektual
yang (harusnya) sering memenangkan olimpiade ilmiah, Debat, KTI, PKM dan
event-event ilmiah lainnya.
Media dengan prinsip bad news is good news,
hampir sudah pasti lebih bergairah meliput sisi negatif mahasiswa
Makassar, dinilai dari muatan beritanya yang menjual dan memiliki daya
tarik tersendiri dibanding berita-berita prestasi yang dicapai oleh
mahasiswa Makassar. Realitasnya kini telah terbukti orang-orang lebih
banyak mengenal mahasiswa Makassar dari kasus tawuran antar fakultas,
demonstrasi lalu bentrok dan mahasiswa brutal yang merusakan fasilitas
umum, dibanding prestasi-prestasi intelektualnya di ajang nasional,
maupun internasional yang selama ini telah diraih, namun luput dari
lensa media, kalaupun ada beberapa yang diliput intensitas dan ratingnya
sangat jauh.
Menang Lomba Debat.
Terlepas dari penyebab timbulnya citra
negatif yang disematkan kepada mahasiswa Makassar melalui media selama
ini, kemenangan Tim Debat mahasiswa UMI benar-benar telah memberikan
pencitraan positif sebagai representatif mahasiswa Makassar yang telah
berhasil memberikan angin segar dan menjawab pesimisme mahasiswa
Makassar yang tandus akan citra positif.
Kita berharap semoga kemenangan ini menjadi
daya tarik baru kepada awak media, khususnya televisi dalam menyuguhkan
liputan-liputan berkualitas dalam fungsinya sebagai alat pendukung
pendidikan, karena mahasiswa Makassar (sumpah) punya banyak potensi yang
jarang terekspos oleh kamera media, sehingga melalui momen kemenangan
Tim Debat UMI ini, bersama stakeholder yang berkepentingan
seyogyanya harus memancangkan komitmen untuk memulai menciptakan iklim
kompetitif bagi kalangan mahasiswa untuk berpacu meraih prestasi melalui
dukungan media sebagai penyebar informasi, dengan itu kita semua
berharap mahasiswa Makassar tidak lagi dikenal pada tataran bisa bakar
ban yang seperti Alfito Deanova moderator dalam acara debat tersebut
katakan, melainkan nantinya orang-orang akan berbicara tentang semilyar
potensi dan prestasi yang ditorehkan mahasiswa Makassar di masa akan
datang. Selamat buat ketiga pemenang, selamat buat almamater UMI dan
selamat untuk seluruh Mahasiswa Makassar. Hari ini kita mampu
membuktikannya!
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana
Ilmu Hukum Universitas Muslim Indonesia dan Alumni Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar
Sumber : kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar